Kondisi serius pada anak yang ditandai
dengan tinggi badan anak di bawah rata-rata atau anak sangat pendek serta
tubuhnya tidak bertumbuh dan berkembang dengan baik sesuai usianya dan
berlangsung dalam waktu lama, itulah
Stunting. Mari kita bahas bersama pada pembahasan dibawa ini :
A.
Apa
itu stunting?
Stunting
adalah kondisi kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek pada anak
balita (di bawah 5 tahun). Anak yang mengalami stunting akan terlihat pada saat
menginjak usia 2 tahun. Seorang
anak dikatakan mengalami stunting apabila tinggi badan dan panjang tubuhnya
minus 2 dari standar Multicentre Growth Reference
Study atau standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari
WHO. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI
menyebut stunting adalah anak balita dengan nilai z-skor nya kurang dari
-2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted).
B.
Memahami
darurat stunting di Indonesia
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi yang dilansir dari
situs Kemenkes
RI, pada 2016 angka prevalensi
stunting di Indonesia sebesar 27,5 persen. Artinya sekitar 1 dari 3 balita di
Indonesia mengalami stunting. Bahkan pada 2017 angkanya meningkat menjadi 29, 6
persen. Angka ini menempatkan Indonesia berada pada status kronis. Sebab
WHO mengklasifikasikan negara mengalami status kronis jika angka prevalensinya
melebihi 20 persen. Angka ini juga menempatkan Indonesia di posisi teratas
angka stunting terparah di Asia tenggara. Negara tetangga kita yakni Malaysia,
angka prevalensinya hanya 17,2 persen.
C.
Dampak
stunting pada anak
Selain pertumbuhan yang terhambat, stunting pada anak juga
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan juga sosial di masa depan. Dilansir
dari Buletin Stunting Kemenkes RI tahun 2018 berikut beberapa dampak stunting.
Ø
Dampak
stunting pada anak jangka pendek:
a)
Meningkatkan potensi sakit dan kematian pada anak
b)
Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal anak menjadi
terhambat dan tidak optimal
c)
Meningkatkan biaya kesehatan.
Ø
Dampak
stunting pada anak jangka panjang:
a)
Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa, lebih pendek
ketimbang orang-orang seusianya
b)
Meningkatkan risiko obesitas dan mengidap Penyakit Tidak
Menular (PTM) seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, kanker, dan
lain-lain.
c)
Kesehatan reproduksi yang menurun
d)
Kapasitas belajar dan performa yang tidak optimal saat
masa sekolah
e)
Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal saat
dewasa.
Dilansir dari laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K), stunting juga memiliki dampak panjang pada pertumbuhan
negara. Dari produktivitas rendah bisa
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang nantinya bisa meningkatkan
angka kemiskinan dan memperlebar angka ketimpangan ekonomi.
D.
Penyebab
stunting
Stunting tidak terjadi begitu saja, melainkan dimulai dari
janin hingga sang anak menginjak usia 2 tahun. Minimnya asupan nutrisi pada
usia 1.000 Hari Pertumbuhan Anak (HPK) menjadi faktor utama penyebab stunting
pada anak.
1)
Kurangnya
edukasi soal asupan gizi saat hamil
Kurangnya pengetahuan ibu terkait
kesehatan, pentingnya gizi saat kehamilan, dan pemenuhan gizi anak menjadi
faktor yang penting. Selain minimnya edukasi, kurangnya pemenuhan gizi ini bisa
juga terkait dengan status ekonomi keluarga.
2)
Kurangnya
gizi saat bayi lahir hingga usia 2 tahun
Kurangnya edukasi ibu terkait pengetahuan tentang kehamilan
dan anak, mengakibatkan kurangnya pemenuhan gizi anak pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan.
1.000
HPK artinya dimulai sejak janin tumbuh hingga anak lahir dan menginjak usia 2
tahun. Dilansir dari data TNP2TK, 60 persen anak usia 0-6 bulan
tidak mendapat
ASI secara eksklusif. Dan 2
dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping ASI (MPASI).
Padahal bayi butuh nutrisi yang cukup untuk bisa tumbuh optimal.
3)
Kondisi
kesehatan ibu yang buruk
Selain
kurangnya asupan nutrisi pada ibu hamil, kondisi kesehatan juga bisa
meningkatkan potensi stunting. Dilansir WHO, ibu yang
mengalami malaria, HIV/AIDS, dan cacingan berpotensi
meningkatkan risiko stunting pada anak. Begitu pula dengan ibu yang mengalami
hipertensi.
Selain
itu, wanita yang hamil pada usia remaja juga berisiko. Sebab akan terjadi
semacam persaingan perebutan nutrisi antara tubuh ibu yang masih dalam tahap
pertumbuhan dan juga si jabang bayi.
4)
Sanitasi dan kebersihan lingkungan yang buruk
Kondisi sanitasi, kebersihan lingkungan, dan akses air
bersih yang buruk bisa meningkatkan potensi terjadinya infeksi penyakit.
Seperti diare dan malaria. Kebersihan
yang minim ini menyebabkan tubuh harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melawan
sumber penyakit. Penyakit infeksi yang disebabkan hygiene atau buruknya sanitasi bisa mengganggu
penyerapan nutrisi pada sistem pencernaan.
5)
Akses air bersih
Kebutuhan akan air bersih juga bisa
mencegah anak dan keluarga dari risiko infeksi penyakit. Setiap keluarga harus
memiliki sumber air yang layak. Sumber
air layak artinya tersedianya air minum, hydrant umum, terminal air, penampang
air hujan, mata air/sumur terlindung, atau sumur bor/pompa, yang jaraknya 10
meter dari pembuangan kotoran atau limbah.
6)
Infeksi
penyakit
Dilansir WHO, salah satu penyebab stunting adalah infeksi
penyakit. Penyakit seperti diare, penyakit pernapasan seperti pneumonia, dan cacingan, bisa memengaruhi
pertumbuhan anak.
Data
menyebut, seorang anak yang mengalami diare lebih dari 5 kali sebelum menginjak
usia 2 tahun telah menjadi penyebab 25 persen anak yang mengalami diare di
dunia. Infeksi penyakit dan paparan
berlebih pada bakteri ini juga menyebabkan dampak medis lain pada anak. Mulai
dari inflamasi, kerusakan pada sistem pencernaan, dan semakin berkurangnya
kemampuan untuk menyerap nutrisi.
E. Solusi pencegahan stunting di
Indonesia
WHO menyebut bahwa stunting tidak
dapat disembuhkan, namun bisa kita cegah. Berikut beberapa langkah yang bisa
dilakukan sebagai upaya pencegahan stunting.
1)
Kesehatan
ibu yang baik
Untuk
melahirkan bayi yang sehat, maka seorang ibu harus memastikan kondisi kesehatannya
optimal pula. Sebab
ada siklus atau intergenerational cycle yang
menjadi penyebab stunting terus terjadi dari generasi ke generasi. Terutama
lebih berisiko pada wanita yang memiliki masalah kesehatan berikut:
a)
Kurang gizi saat lahir
b)
Mengalami stunting saat usia anak
c)
Hamil saat usia remaja
d)
Bekerja berlebihan saat hamil
e)
Akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
f)
Dan tak mampu berikan ASI secara optimal.
Maka dari itu jika kamu para calon ibu yang sudah
berkeinginan memiliki keturunan, mulailah untuk jaga kesehatan diri sejak
sekarang dan edukasi diri dengan baik.
2)
Memenuhi
asupan gizi ibu hamil
Pemenuhan
gizi anak harus dimulai sejak janin. Oleh karena itu ibu harus memastikan
dirinya mengonsumsi makanan bernutrisi seimbang. Asupan gizi yang kurang bisa
sebabkan pertumbuhan janin yang tidak maksimal. Pertumbuhan janin yang tak
maksimal bisa tingkatkan risiko keguguran. Dilansir Kemenkes RI, ibu hamil pada umumnya kekurangan
energi dan protein. Maka dari itu disarankan untuk mengonsumsi makanan yang
tinggi TKPM alias tinggi kalori, protein, dan mikronutrien. Jangan lupa juga untuk melakukan cek
kesehatan dan cek kandungan secara rutin ke dokter, bidan, atau petugas medis
lain yang kompeten.
3)
Pentingnya ASI eksklusif untuk pencegahan
stunting
Saat bayi lahir, sangat disarankan
untuk melakukan IMD atau Inisiasi Menyusui Dini. Di mana dalam rentang 1 jam
pasca lahir, tempatkan bayi pada dada sang ibu dengan posisi telungkup.
Berikan
bayi ASI eksklusif, sebab pada tahap ini susu ibu mengandung banyak kolostrum
yang sangat baik bagi pertumbuhan dan sistem imunitas bayi ke depannya. WHO menyarankan ibu memberikan ASI
eksklusif mulai saat bayi lahir hingga bayi berusia 6 bulan. Lalu meneruskannya
hingga sang anak berusia 2 tahun. Tahukah Moms, dilansir WHO ada dampak buruk pada bayi di bawah
6 bulan yang tidak diberi ASI eksklusif. Mereka 15 kali lebih berpotensi
meninggal akibat pneumonia, dan 11 kali
berisiko meninggal akibat diare.
4)
Memberikan
makanan pendamping air susu ibu (MPASI)
Setelah bayi melewati usia 6 bulan,
disarankan untuk mulai memberikan makanan
pendamping ASI.
WHO menyarankan bayi berusia 6-23 bulan mengonsumsi sekurangnya 4 dari 7
kelompok jenis makanan. Mulai
dari serealia/umbi-umbian, kacang-kacangan, produk olahan susu, telur, sumber
protein lainnya, sayur dan buah kaya vitamin A, sayur dan buah lainnya. Pemberian MPASI juga tak boleh
sembarangan, harus sesuai dengan ketentuan Minimum Meal Frequency (MMF) yang disarankan WHO. Berikut
uraiannya:
Frekuensi pemberian MPASI pada bayi
yang masih diberi ASI:
a)
Usia 6-8 bulan : 2 kali sehari atau lebih
b)
Usia 9-23 bulan : 3 kali sehari atau lebih
Frekuensi pemberian MPASI pada bayi
yang sudah tidak diberi ASI:
a)
Usia 6-23 bulan : 4 kali sehari atau lebih
5)
Rajin ke posyandu
Saat bayi masih dalam tahap 1.000
hari pertama kehidupan, jangan lupa untuk rutin mengunjungi Posyandu maupun
fasilitas medis lainnya. Lakukan pengecekan kesehatan dan pertumbuhan bayi
secara rutin. Jangan lupa konsultasikan setiap
perkembangan anak dengan petugas medis untuk mencegah stunting. Selain itu,
jangan lupa untuk memberikan imunisasi secara lengkap agar anak lebih kebal
terhadap berbagai infeksi penyakit.
6)
Menjaga
kebersihan sanitasi dan lingkungan
Saat ibu hamil lalu melahirkan dan
menyusui, pastikan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi.
Lakukan mulai dari kebiasaan sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun. Saat anak lahir, pastikan untuk
selalu menjaga kebersihan segala peralatan sang bayi. Mulai dari pakaian,
perlengkapan mandi, peralatan makan, dan lain-lain. Langkah menjaga kebersihan ini bisa
menghindari ibu dan bayi dari potensi terkena berbagai penyakit yang disebabkan
oleh infeksi bakteri, seperti diare.
7)
Jaga kebersihan makanan
Selain
kebersihan lingkungan dan sanitasi, jangan lupa untuk jaga kebersihan makanan
yang ibu dan bayi konsumsi. Sebab makanan yang tidak terjaga kebersihannya bisa
terpapar mycotoxins. Mycotoxins adalah
zat kimia berbahaya yang dihasilkan oleh jamur yang ada pada makanan. Zat ini
bisa sebabkan infeksi penyakit yang mengganggu pertumbuhan. Selain itu pastikan makanan disimpan
pada tempat tertutup, dalam wadah yang bersih, dan suhu yang baik. Sebab jika
tidak, bakteri bisa tumbuh dan berkembang. Jika itu terjadi, risiko anak terkena infeksi penyakit
meningkat. Hal ini bisa berpengaruh pada pertumbuhan anak yang tidak bisa
berkembang optimal.