Dampak Limbah PT. Freeport Indonesia Di Papua

9:19:00 PM Add Comment

 


Terkait masalah limbah PT. Freeport yang sejak tahun 1974 sampai dengan tahun 2018 diketahui mengalirkan tailing melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Ajkwa serta menempatkannya di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 km persegi sudah sesuai aturan yang diterbitkan saat itu.


Penjelasan Lengkap Tentang STUNTING

2:35:00 AM Add Comment


Biologi Kehidupan


Kondisi serius pada anak yang ditandai dengan tinggi badan anak di bawah rata-rata atau anak sangat pendek serta tubuhnya tidak bertumbuh dan berkembang dengan baik sesuai usianya dan berlangsung dalam waktu lama, itulah Stunting. Mari kita bahas bersama pada pembahasan dibawa ini :

 

A.      Apa itu stunting?

Stunting adalah kondisi kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek pada anak balita (di bawah 5 tahun). Anak yang mengalami stunting akan terlihat pada saat menginjak usia 2 tahun.  Seorang anak dikatakan mengalami stunting apabila tinggi badan dan panjang tubuhnya minus 2 dari standar Multicentre Growth Reference Study atau standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI menyebut stunting adalah anak balita dengan nilai z-skor nya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted).

 

B.       Memahami darurat stunting di Indonesia

 Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi yang dilansir dari situs Kemenkes RI, pada 2016 angka prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27,5 persen. Artinya sekitar 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting. Bahkan pada 2017 angkanya meningkat menjadi 29, 6 persen. Angka ini menempatkan Indonesia berada pada status kronis. Sebab WHO mengklasifikasikan negara mengalami status kronis jika angka prevalensinya melebihi 20 persen. Angka ini juga menempatkan Indonesia di posisi teratas angka stunting terparah di Asia tenggara. Negara tetangga kita yakni Malaysia, angka prevalensinya hanya 17,2 persen.

 

C.      Dampak stunting pada anak

 Selain pertumbuhan yang terhambat, stunting pada anak juga dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan juga sosial di masa depan. Dilansir dari Buletin Stunting Kemenkes RI tahun 2018 berikut beberapa dampak stunting.

Ø    Dampak stunting pada anak jangka pendek:

a)        Meningkatkan potensi sakit dan kematian pada anak

b)        Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal anak menjadi terhambat dan tidak optimal

c)        Meningkatkan biaya kesehatan.

Ø    Dampak stunting pada anak jangka panjang:

a)    Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa, lebih pendek ketimbang orang-orang seusianya

b)    Meningkatkan risiko obesitas dan mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, kanker, dan lain-lain.

c)     Kesehatan reproduksi yang menurun

d)    Kapasitas belajar dan performa yang tidak optimal saat masa sekolah

e)     Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal saat dewasa.

 

 Dilansir dari laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), stunting juga memiliki dampak panjang pada pertumbuhan negara. Dari produktivitas rendah bisa mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang nantinya bisa meningkatkan angka kemiskinan dan memperlebar angka ketimpangan ekonomi.

 

D.  Penyebab stunting

 Stunting tidak terjadi begitu saja, melainkan dimulai dari janin hingga sang anak menginjak usia 2 tahun. Minimnya asupan nutrisi pada usia 1.000 Hari Pertumbuhan Anak (HPK) menjadi faktor utama penyebab stunting pada anak. 

 

1)        Kurangnya edukasi soal asupan gizi saat hamil

 Kurangnya pengetahuan ibu terkait kesehatan, pentingnya gizi saat kehamilan, dan pemenuhan gizi anak menjadi faktor yang penting. Selain minimnya edukasi, kurangnya pemenuhan gizi ini bisa juga terkait dengan status ekonomi keluarga.

 

2)        Kurangnya gizi saat bayi lahir hingga usia 2 tahun

 Kurangnya edukasi ibu terkait pengetahuan tentang kehamilan dan anak, mengakibatkan kurangnya pemenuhan gizi anak pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.

1.000 HPK artinya dimulai sejak janin tumbuh hingga anak lahir dan menginjak usia 2 tahun.  Dilansir dari data TNP2TK, 60 persen anak usia 0-6 bulan tidak mendapat ASI secara eksklusif. Dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping ASI (MPASI). Padahal bayi butuh nutrisi yang cukup untuk bisa tumbuh optimal.

 

3)        Kondisi kesehatan ibu yang buruk

Selain kurangnya asupan nutrisi pada ibu hamil, kondisi kesehatan juga bisa meningkatkan potensi stunting. Dilansir WHO, ibu yang mengalami malaria, HIV/AIDS, dan cacingan berpotensi meningkatkan risiko stunting pada anak. Begitu pula dengan ibu yang mengalami hipertensi.

Selain itu, wanita yang hamil pada usia remaja juga berisiko. Sebab akan terjadi semacam persaingan perebutan nutrisi antara tubuh ibu yang masih dalam tahap pertumbuhan dan juga si jabang bayi.

 

4)         Sanitasi dan kebersihan lingkungan yang buruk

 Kondisi sanitasi, kebersihan lingkungan, dan akses air bersih yang buruk bisa meningkatkan potensi terjadinya infeksi penyakit. Seperti diare dan malaria. Kebersihan yang minim ini menyebabkan tubuh harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melawan sumber penyakit. Penyakit infeksi yang disebabkan hygiene atau buruknya sanitasi bisa mengganggu penyerapan nutrisi pada sistem pencernaan.

 

5)         Akses air bersih

 Kebutuhan akan air bersih juga bisa mencegah anak dan keluarga dari risiko infeksi penyakit. Setiap keluarga harus memiliki sumber air yang layak. Sumber air layak artinya tersedianya air minum, hydrant umum, terminal air, penampang air hujan, mata air/sumur terlindung, atau sumur bor/pompa, yang jaraknya 10 meter dari pembuangan kotoran atau limbah.

 

6)        Infeksi penyakit

 Dilansir WHO, salah satu penyebab stunting adalah infeksi penyakit. Penyakit seperti diare, penyakit pernapasan seperti pneumonia, dan cacingan, bisa memengaruhi pertumbuhan anak.

Data menyebut, seorang anak yang mengalami diare lebih dari 5 kali sebelum menginjak usia 2 tahun telah menjadi penyebab 25 persen anak yang mengalami diare di dunia. Infeksi penyakit dan paparan berlebih pada bakteri ini juga menyebabkan dampak medis lain pada anak. Mulai dari inflamasi, kerusakan pada sistem pencernaan, dan semakin berkurangnya kemampuan untuk menyerap nutrisi.

 

E.     Solusi pencegahan stunting di Indonesia

 WHO menyebut bahwa stunting tidak dapat disembuhkan, namun bisa kita cegah. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan stunting.

 

1)        Kesehatan ibu yang baik

Untuk melahirkan bayi yang sehat, maka seorang ibu harus memastikan kondisi kesehatannya optimal pula.  Sebab ada siklus atau intergenerational cycle yang menjadi penyebab stunting terus terjadi dari generasi ke generasi. Terutama lebih berisiko pada wanita yang memiliki masalah kesehatan berikut:

a)         Kurang gizi saat lahir

b)         Mengalami stunting saat usia anak

c)         Hamil saat usia remaja

d)         Bekerja berlebihan saat hamil

e)         Akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah

f)          Dan tak mampu berikan ASI secara optimal.

 

Maka dari itu jika kamu para calon ibu yang sudah berkeinginan memiliki keturunan, mulailah untuk jaga kesehatan diri sejak sekarang dan edukasi diri dengan baik.

 

2)        Memenuhi asupan gizi ibu hamil

Pemenuhan gizi anak harus dimulai sejak janin. Oleh karena itu ibu harus memastikan dirinya mengonsumsi makanan bernutrisi seimbang. Asupan gizi yang kurang bisa sebabkan pertumbuhan janin yang tidak maksimal. Pertumbuhan janin yang tak maksimal bisa tingkatkan risiko keguguran. Dilansir Kemenkes RI, ibu hamil pada umumnya kekurangan energi dan protein. Maka dari itu disarankan untuk mengonsumsi makanan yang tinggi TKPM alias tinggi kalori, protein, dan mikronutrien.  Jangan lupa juga untuk melakukan cek kesehatan dan cek kandungan secara rutin ke dokter, bidan, atau petugas medis lain yang kompeten.

 

 

 

 

3)         Pentingnya ASI eksklusif untuk pencegahan stunting

  Saat bayi lahir, sangat disarankan untuk melakukan IMD atau Inisiasi Menyusui Dini. Di mana dalam rentang 1 jam pasca lahir, tempatkan bayi pada dada sang ibu dengan posisi telungkup.

Berikan bayi ASI eksklusif, sebab pada tahap ini susu ibu mengandung banyak kolostrum yang sangat baik bagi pertumbuhan dan sistem imunitas bayi ke depannya. WHO menyarankan ibu memberikan ASI eksklusif mulai saat bayi lahir hingga bayi berusia 6 bulan. Lalu meneruskannya hingga sang anak berusia 2 tahun. Tahukah Moms, dilansir WHO ada dampak buruk pada bayi di bawah 6 bulan yang tidak diberi ASI eksklusif. Mereka 15 kali lebih berpotensi meninggal akibat pneumonia, dan 11 kali berisiko meninggal akibat diare.

 

4)        Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI)

  Setelah bayi melewati usia 6 bulan, disarankan untuk mulai memberikan makanan pendamping ASI. WHO menyarankan bayi berusia 6-23 bulan mengonsumsi sekurangnya 4 dari 7 kelompok jenis makanan. Mulai dari serealia/umbi-umbian, kacang-kacangan, produk olahan susu, telur, sumber protein lainnya, sayur dan buah kaya vitamin A, sayur dan buah lainnya. Pemberian MPASI juga tak boleh sembarangan, harus sesuai dengan ketentuan Minimum Meal Frequency (MMF) yang disarankan WHO. Berikut uraiannya:

 

Frekuensi pemberian MPASI pada bayi yang masih diberi ASI:

a)    Usia 6-8 bulan : 2 kali sehari atau lebih

b)    Usia 9-23 bulan : 3 kali sehari atau lebih

Frekuensi pemberian MPASI pada bayi yang sudah tidak diberi ASI:

a)       Usia 6-23 bulan : 4 kali sehari atau lebih

5)         Rajin ke posyandu

       Saat bayi masih dalam tahap 1.000 hari pertama kehidupan, jangan lupa untuk rutin mengunjungi Posyandu maupun fasilitas medis lainnya. Lakukan pengecekan kesehatan dan pertumbuhan bayi secara rutin. Jangan lupa konsultasikan setiap perkembangan anak dengan petugas medis untuk mencegah stunting. Selain itu, jangan lupa untuk memberikan imunisasi secara lengkap agar anak lebih kebal terhadap berbagai infeksi penyakit.

 

 

6)         Menjaga kebersihan sanitasi dan lingkungan

       Saat ibu hamil lalu melahirkan dan menyusui, pastikan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi. Lakukan mulai dari kebiasaan sederhana seperti mencuci tangan dengan sabun. Saat anak lahir, pastikan untuk selalu menjaga kebersihan segala peralatan sang bayi. Mulai dari pakaian, perlengkapan mandi, peralatan makan, dan lain-lain. Langkah menjaga kebersihan ini bisa menghindari ibu dan bayi dari potensi terkena berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti diare.

 

7)         Jaga kebersihan makanan

Selain kebersihan lingkungan dan sanitasi, jangan lupa untuk jaga kebersihan makanan yang ibu dan bayi konsumsi. Sebab makanan yang tidak terjaga kebersihannya bisa terpapar mycotoxins. Mycotoxins adalah zat kimia berbahaya yang dihasilkan oleh jamur yang ada pada makanan. Zat ini bisa sebabkan infeksi penyakit yang mengganggu pertumbuhan. Selain itu pastikan makanan disimpan pada tempat tertutup, dalam wadah yang bersih, dan suhu yang baik. Sebab jika tidak, bakteri bisa tumbuh dan berkembang. Jika itu terjadi, risiko anak terkena infeksi penyakit meningkat. Hal ini bisa berpengaruh pada pertumbuhan anak yang tidak bisa berkembang optimal.

 

 

PD III Rusia – Ukraina dan Kemungkinan 10 Senjata Biologi Yang Digunakan

2:09:00 PM Add Comment

            



        Senjata biologi (biological weapon) adalah senjata yang menggunakan patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Dalam pengertian yang lebih luas, senjata biologi tidak hanya berupa organisme patogen, tetapi juga toksin berbahaya yang dihasilkan oleh organisme tertentu. Dalam kenyataanya, senjata biologi tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman.

            Pembuatan dan penyimpanan senjata biologi telah dilarang oleh Konvensi Senjata Biologi 1972 yang ditandatangani oleh lebih dari 100 negara. Alasan pelarangan ini adalah untuk menghindari efek yang dihasilkan senjata biologi, yang dapat membunuh jutaan manusia, dan menghancurkan sektor ekonomi dan sosial. Namun, Konvensi Senjata Biologi hanya melarang pembuatan dan penyimpanan senjata biologi, tetapi tidak melarang pemakaiannya.

 Karena kebencian dan keserakahan manusia maka teknologi dan strategi berperang mereka menggunakan  senjata biologis. Senjata biologis adalah senjata yang memanfaatkan bakteri, virus atau organisme yang mampu menghasilkan penyakit, dengan tujuan untuk melumpuhkan, melukai, bahkan membunuh musuh.

 

1.    Anthrax

     Bacillus Anthracis, bakteri penyebab Anthrax, merupakan salah satu agen bio paling mematikan dan dimanfaatkan untuk senjata biologi. Anthrax diperkirakan telah digunakan sebagai senjata biologi selama sekitar satu abad lalu. Tak hanya mematikan, Anthrax bisa dibilang adalah salah satu senjata yang sangat mengerikan serta fleksibel karena tak terlihat, menular, serta tidak berbau. Bahkan, Anthrax dalam wujud bubuk pernah dikirim dengan sengaja lewat sistem pos di AS pada 2001. Dari 22 orang yang terinfeksi, tujuh orang merupakan pekerja pos, dan total lima orang meninggal akibat serangan itu. Korban Anthrax dapat mengalami gangguan kulit terasa melepuh dan gatal, pembengkakan di sekitar kulit yang melepuh, termasuk rasa tidak nyaman di dada, demam, menggigil, pusing, batuk, mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kelelahan ekstrem, dan nyeri pada seluruh tubuh.

 

2.    Botulisme

     Botulisme merupakan salah satu racun paling mematikan di dunia. Racun Botulisme menjadi salah satu senjata biologis yang relatif mudah diproduksi, karena bakteri dari racun ini bisa didapatkan secara alami di tanah hutan, sedimen dasar danau dan sungai, serta saluran usus dari beberapa ikan maupun hewan. Hanya dengan 1 gram racun Botulisme bisa menewaskan 1 juta orang yang menghirupnya. Botulisme pernah digunakan kelompok Jepang untuk menginfeksi tahanan perang mereka. Gejala Botulisme bisa sangat parah. Otot-otot di wajah akan menjadi lumpuh, dan jika tidak ditangani, kelumpuhan itu dapat menyebar ke seluruh tubuh bahkan mematikan otot-otot yang digunakan untuk bernapas.

 

3.    Variola (cacar)

     Dikenal juga dengan sebutan "wabah merah", Variola atau cacar adalah penyakit yang sangat menular yang menyebabkan demam tinggi, sakit kepala dan tubuh, ruam yang parah, dan bintil yang menutupi sebagian besar tubuh. Ada dua laboratorium di dunia yang memiliki akses langsung ke penyakit tersebut untuk tujuan penelitian, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, dan Center for Virology and Biotechnology Research Rusia. WHO khawatir suatu negara atau organisasi teroris dapat menggunakan penyakit tersebut sebagai senjata biologis di masa depan. Pada tahun 1980, pemerintah Uni Soviet mengembangkan virus cacar dalam jumlah besar yang disimpan dalam tangki berpendingin untuk digunakan sebagai agen senjata biologis. Ancaman penggunaan cacar sebagai senjata biologis menurun ketika WHO meluncurkan program imunisasi global yang sukses melawan cacar tahun 1967. Meski demikian, vaksinasi tidak menghasilkan kekebalan seumur hidup dari penyakit tersebut.

 

4.    Q Fever

     Q Fever adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii. Bakteri ini muncul secara alami dan menginfeksi hewan seperti domba, sapi, dan kambing, menyebabkan produk sampingannya (susu, feses, dan bahkan plasenta) terkontaminasi. Kebanyakan orang yang menelan Coxiella burnetii tidak menunjukkan gejala, tetapi gejalanya biasanya mirip flu. Meski pasien terinfeksi Fever Q tidak terlalu menular, AS dan Uni Soviet mengembangkan versi senjata dari bakteri ini dalam jumlah besar. Varietas yang dipersenjatai dibuat sangat mudah menular, dan percobaan pada manusia terbukti sangat berhasil karena semua orang yang secara sukarela terinfeksi penyakit tersebut memperlihatkan gejala. Pengujian Fever Q berlangsung selama dua dekade di AS. Pada tahun 2006, CDC AS membatasi penelitian yang dilakukan di fasilitas A&M Texas setelah ditemukan tiga peneliti tertular penyakit tersebut dan tidak melaporkannya ke CDC sesuai yang ditentukan oleh hukum. Adapun informasi tersebut diperoleh dari pengawas biosafety melalui Freedom of Information Act. Untuk diketahui, varian Fever Q yang dipersenjatai dapat diobati dengan antibiotik.

 

5.    Tularemia

     Bakteri Francisella tularensis penyebab Tularemia atau demam kelinci, memiliki kemampuan menginfeksi yang ekstrem, mudah menyebar, hingga bisa menyebabkan kematian. Orang yang terkena Francisella tularensis mengalami gejala ulkus kulit, demam, batuk, muntah, dan diare. Dr. Kenneth Alibek, mantan ilmuwan yang terlibat dalam program senjata biologis Uni Soviet, mengungkapkan penggunaan tularensis oleh tentara Uni Soviet melawan pasukan Jerman dalam pertempuran Stalingrad selama Perang Dunia II. Bakteri yang diklasifikasikan sebagai agen Kategori A itu telah dipelajari oleh unit penelitian perang Jepang dan beberapa kekuatan militer negara-negara Barat untuk keperluan militer.

 

6.    Bunyavirus

     Keluarga virus Bunyaviridae ini mencakup tiga virus: Nairovirus, Phlebovirus, dan Hantavirus. Demam berdarah Korea yang disebabkan oleh Hantavirus pecah selama Perang Korea ketika diperkirakan tiga ribu tentara Amerika Serikat dan Korea terinfeksi penyakit tersebut. Namun, bukti penggunaan langsungnya sebagai senjata biologis masih belum ditemukan. Bunyavirus menyebabkan infeksi pada manusia seperti Hanta Pulmonary Syndrome (HPS), demam Rift Valley, dan demam berdarah Krimea-Kongo. Infeksinya ditularkan oleh artropoda dan hewan pengerat, serta terkadang dapat menginfeksi manusia juga. Virus Hanta penyebab HPS menyebabkan tingkat kematian hingga 50%.

 

7.    Yersinia pestis

     Bakteri satu ini bisa menjadi senjata biologis yang dapat menyebabkan wabah pneumonia. Gejala-gejala awal yang ditimbulkan adalah demam, radang paru-paru yang dapat sebabkan gagal napas hingga berujung kematian bila tidak ditangani dengan baik. Wabah semacam ini telah digunakan sebagai senjata oleh tentara Jepang saat Perang Dunia II. Yersinia pestis sengaja dijatuhkan di daerah-daerah sekitar China dan Manchuria.

 

8.    Virus Marburg

    Demam Berdarah Marburg (Marburg HF) disebabkan oleh virus Marburg dari famili filovirus, yang juga termasuk virus Ebola. Virus Marburg juga merupakan agen perang biologis Kategori A yang diidentifikasi oleh sistem klasifikasi CDC dan dibawa di tubuh kelelawar buah Afrika. Virusnya dapat diisolasi dan diproduksi sebagai senjata biologis. Uni Soviet melakukan eksperimen dengan virus Marburg dalam bentuk aerosol untuk mengubahnya menjadi senjata biologis operasional strategis. Para ilmuwan Soviet dilaporkan lebih memilih Marburg daripada Coxiella burnetii (demam Q) karena Marburg memiliki tingkat kematian kasus yang tinggi hingga 90%.

 

9.    Aflatoxin

    Aflatoxin adalah sejumlah metabolit berbahaya yang terkait secara struktural yang dikembangkan oleh strain jamur tertentu. Metabolit ini menyebabkan kematian sel atau organ, hingga penyakit hati sirosis yang mengakibatkan kegagalan fungsi hati dan kanker. Komisi Khusus PBB (UNSCOM), pada tahun 1995 menemukan produksi Aflatoxin dan beragam pengerahan amunisi di Irak, yang dihancurkan setelah Perang Teluk. Menurut laporan Army Technology, metabolitnya memiliki toksisitas yang sangat rendah, sehingga diperlukan dalam jumlah besar untuk disebarkan di medan perang untuk menghasilkan dampak yang mematikan.

 

10.                          Ebola

   Virus Ebola pertama kali ditemukan pada tahun 1976 di Republik Kongo dan ditransmisikan dari hewan liar ke manusia. Ebola berpotensi dijadikan senjata biologis yang dapat menjadi ancaman besar untuk manusia karena dapat sebabkan kematian. Ada dugaan Ebola diproduksi sebagai senjata oleh Uni Soviet antara tahun 1986 hingga 1990. Namun sejauh ini, dugaan tersebut masih belum bisa dibuktikan.

 

Unggulan Post

Warna Feses Bisa Menunjukkan Kondisi Kesehatan Anda.

Karikatur Fese dalam usus manusia  Feses merupakan hasil kotoran dari proses pencernaan. Kotoran ini terdiri dari sisa-sisa makanan yang tid...